Pada suatu ketika di Nagari Pariangan[1], daerah yang menjadi awal mula perkembangan masyarakat Minangkabau menyebar dan berkembang ke daerah-daerah di sekitarnya yang belum ditaruko[2] dan ditempati, hingga menyebar ke wilayah-wilayah yang ada seperti sekarang ini. Penyebaran ini bermula dari dilakukannya ekspedisi ke arah dua mata angin, ke arah Timur munculah dua wilayah baru, yaitu Dusun Tuo Limo Kaum dan daerah Bungo Setangkai yang sekarang merupakan Nagari Sungai Tarab. Ke wilayah barat dikenal sebagai ekspedisi Batipuh, daerah pertama yang dibuka adalah Nagari Sabu. Setelah ekspedisi tersebut, semakin banyaklah masyarakat yang ada di Pariangan Padang Panjang saat itu membentuk kelompok-kelompok ekspedisi untuk mencari daerah baru yang mereka yakini nantinya dapat dijadikan sebagai daerah pemukiman baru bagi anak kemenakannya nanti.
Diantara kelompok-kelompok ekspedisi yang berangkat dari Pariangan, ada satu kelompok ekspedisi yang dipimpin oleh Sutan Nan Qawi Majoano. Dalam kelompok ekspedisi ini terdiri dari delapan orang yaitu; Sutan Nan Qawi Majoano, Rapu Sarok, Ramang Putih, Ramang Hitam, Candi Aluih (dikenal sebagai Niniak orang Melayu), Rabaani (dikenal sebagai Niniak orang Durian), Kumbo (dikenal sebagai Niniak orang Bariang) dan Indalan. Mereka berangkat dari Pariangan dengan menyusuri daerah-daerah yang berada dalam sailiran[3] Batang Bangkaweh, kemudian terus menuju ke Selatan Koto Basa Damasraya.
Dari daerah ini perjalanan diteruskan menuju arah selatannya lagi yaitu dengan melewati beberapa daerah antara lain; melintasi Batang Kuantak dan Batang Hari sampai ke Muaro Tebo dan Muaro Bungo.
Dari daerah ini mereka naik Biduak Pongkong[4], hingga sampai di daerah Durian Ditakuak Rajo. Perjalanan mereka selanjutnya diteruskan memudiki Batang Hari sampai ke hulu Batang Suliti dan akhirnya sampai ke sebuah lembah yang indah, airnya jernih udaranya sejuk. Di daerah inilah diputuskan untuk mengembangkan penghidupan, awalnya daerah ini mereka namai Rimbo Anok sekarang dikenal sebagai Alam Surambi Sungai Pagu. Sementara itu di Pariangan, karena telah begitu lama rombongan ekspedisi yang dipimpin oleh Sutan Nan Qawi Majoano tidak ada kabar beritanya tentang keberadaan mereka.
Berita ini mejadi buah bibir dalam Nagari Pariangan hingga akhirnya berita ini sampai didengar Raja Di Pagaruyung. Mendegar berita tersebut, Raja memerintahkan Basa Ampek Balai membentuk kelompok untuk mencari dan menelusuri jejak perjalanan kelompok ekspedisi yang dipimpin Sutan Nan Qawi Majoano.
Maka dibentuklah sebuah rombongan yang berjumah sebanyak 60 orang, berangkat mencari ke arah hilangnya Sutan Nan Qawi Majoano yang dipimpin oleh Inyiak Alang Palabah dan Inyiak Majolelo. Dari Pariangan rombongan ini berangkat menuju Singkarak dan bertemu dengan 13 orang Niniak yang melarikan diri dari Agam. Kedua rombongan ini bergabung melakukan perjalanan hingga sampai daerah Sirukam dan Supayang. Di tempat ini kedua rombongan ini berpisah, Niniak yang 60 orang itu melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju Lembah Gumanti (Alahan Panjang). Perjalanan diteruskan ke hulu Sungai Batang Hari. Hingga sampai di sebuah tempat yang bernama Bukit Tanaman Batu. Di daerah ini salah seorang Niniak (bernama Si Padeh) yang berjumlah 60 orang itu sakit (perut) dan akhirnya meninggal dunia. Setelah dikuburkan, maka Niniak yang tinggal 59 orang, menamakan daerah tempat Niniak yang meninggal dunia itu Bukit Sipadeh, sekarang berada di Kecamatan Lembah Gumanti dan arahnya setentang ke arah timur dari Nagari Titian Paning. Akibat peristiwa itu, setelah Sipadeh meninggal dunia, maka Niniak yang tinggal 59 orang dikenal kemudian di Alam Surambi Sungai Pagu sebagai Niniak Kurang Aso 60, maksudnya kurang satu dari 60.
Dalam perjalanan berikutnya Niniak Kurang Aso 60 melewati daerah Surian, di daerah ini terjadi peristiwa hilangnya pisau salah seorang Niniak Kurang Aso. Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya rombongan yang dipimpin oleh Inyiak Alang Palabah dan Majolelo sampai di Nagari Pasir Talang sekarang bertemu dengan kelompok Sutan Nan Qawi Majoano. Ajakan Niniak Kurang Aso kepada Sutan Nan Qawi Majoano untuk kembali ke Pagaruyung ditolak. Sutan Nan Qawi Majoano beralasan, “Apalagi yang dicari, disini buminya subur hawanya sejuk pula, airnya jernih ikannya jinak. Apalagi pemandangan menyejukkan mata. Kembali ke Pagaruyung, kita pun akan berusaha demi anak kemenakan”.
Akhirnya Niniak Kurang Aso 60 bisa memahami alasan Sutan Nan Qawi Majoano tetap betahan di Rimbo Anok. Niniak Kurang Aso 60 pun tertarik untuk tinggal dan mengabungkan diri dengan kelompok Sutan Nan Qawi Majoano. Munculnya suku di Rimbo Anok/Alam Surambi Sungai Pagu, dibentuk setelah kedatangan rombongan Niniak Kurang Aso 60. Berdasarkan kata mufakat, dibentuklah sebuah susunan masyarakat Alam Surambi Sungai Pagu menurut adat Koto Piliang dan mereka susun tata cara pemerintahan menurut adat Pagaruyung.
Peta Pola Penyebaran Masyarakat Minangkabau Ke Daerah Rantau. Setelah disusun dan dibentuknya struktur kehidupan dan pemerintahan di Surambi Sungai Pagu. Maka diutuslah utusan ke Pagaruyung untuk menghadap Raja. Utusan ini bertugas menyampaikan pesan bahwa: “urang rantau lah batamu, hati sanang padi manjadi. Penduduk berkembang biak rukun dan damai, dagang tak tercinto nak pulang. Dari itu penduduk Alam Surambi Sungai Pagu meminta pengesahan Raja Pagaruyung untuk dapat diangkat pula seorang raja di Sungai Pagu.
Permintaan itu dikabulkan Raja Pagaruyung tapi dengan syarat:
1. Boleh mengangkat Raja di Alam Surambi Sungai Pagu tetapi tidak sama kedudukannya dengan Raja Pagaruyung. Raja Sungai Pagu tetap menjadi dunsanak kandung dari Raja Pagaruyung.
2. Walaupun telah mempunyai ranah rantau nan damai, namun Pagaruyung jangan sampai tidak dikunjungi (setidak-tidaknya sekali semusim angin beralih).
Dengan persetujuan dan diiringi restu Raja Pagaruyung, maka atas mufakat orang-orang di Sungai Pagu, orang yang dituakan sebagai Raja dalam Alam Surambi Sungai Pagu adalah yang bergelar Tuanku Rajo Disambah Bagindo Sutan Basa[5] yang tetap berkedudukan di Kampung Dalam Bandar Lakum. Dalam menjalankan pemerintahannya raja mengangkat 4 orang Raja yang bertugas sebagai pimpinan dalam 4 suku besar yang ada. Tujuannya adalah untuk lebih memudahkan beliau untuk menjaga ketentraman hidup dalam masyarakat Sungai Pagu.
Raja Pagaruyung mengakui keberadaan Kerajaaan Alam Surambi Sungai Pagu berdasarkan telah berkembangnya penduduk di daerah tersebut. Begitu jauhnya jarak dengan Kerajaan Pagaruyung, maka Raja memutuskan untuk menjadikan daerah tersebut sebagai daerah rantau nan barajo. Seiring dengan berjalannya waktu, sistem pemerintahan di Sungai Pagu terus dibenahi dan ditata hingga diangkatlah seorang Raja.
Dalam struktur pemerintahannya, Raja dibantu oleh beberapa orang Andhiko (basa) untuk menjalankan pemerintahannya, yaitu :
1. Tuanku Bagindo Sari Pado (Melayu)
2. Tuanku Rajo Batua (Panai)
3. Tuanku Bagindo (Kampai Nan 24)
4. Tuanku Rajo Malenggang (Lareh Nan Tigo (bakapanjangan).
Susunan ini terus menerus diwariskan di Alam Surambi Sungai Pagu. tatanan penempatan ini merupakan keputusan Raja Alam Surambi Sungai Pagu, sebagai pucuk kaum masing-masing. Rombongan Niniak Kurang Aso di Bandar Lakum mendirikan sebuah dusun yang bernama Koto Melayu.
Dikarenakan semakin berkembang dan bertambahnya penduduk Sungai Pagu. Maka atas perintah Raja Tuanku Rajo Disambah Bagindo Sutan Basa, Inyiak Alang Palabah yang merupakan salah seorang pimpinan rombongan Niniak Nan Kurang Aso 60.
Beliau Diperintahkan untuk mencari daerah-daerah baru yang nantinya kelak akan dijadikan sebagai tempat pemukiman baru untuk masyarakat Sungai Pagu yang dari waktu ke waktu terus bertambah. Seperti di Surian, Raja Surambi Sungai Pagu mengangkat dua orang Penghulu paruik gadang karena telah berkembang pula baparuik gadang, dengan gelar adat :
· Datuk Rajo Johan (Kaum Caniago)
· Datuk Sati (Melayu)
Dalam tata perkembangan nagari dua kaum ini juga ikut dalam perkembangan masyarakat Nagari Surantih melalui Surian. Sementara dari ekspedisi yang dipimpin Inyiak Alang Palabah diperkirakan muncul daerah pemukiman baru yang kemudian dikenal saat ini sebagai wilayah Kerajaan Banda Sepuluh yang terdiri dari beberapa Nagari yang antara lain adalah Batang Kapeh, Taluk, Surantih, Amping Parak, Kambang, Lakitan, Pelanggai, Punggasan, Sungai Tunu dan Air Haji.
keterangan nomer :
[1] Menurut Tambo Alam Pariangan, Pariangan merupakan nagari pertama yang dibuka oleh Suri Maharajo Dirajo bersama pengikutnya setelah terdampar di Puncak Gunung Merapi tepatnya di Labuhan Sitimbago. Setelah air surut dan setapak demi setapak daratan bertambah luas, maka turunlah Sutan Maharajo Dirajo bersama rombongannya menuruni Puncak Gunung Merapi.
[2] Ditaruko/menaruko artinya dibuka/membuka lahan baru untuk dijadikan sebagai pemukiman baru dan bercocok tanam.
[3] Sailiran artinya sealiran sungai/batang air.
[4] Biduak Pongkong merupakan sebuah perahu yang terbuat dari bilah (dari bambu) berbentuk rakit. [5] Nama kecil dari raja pertama yang memerintah kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu adalah Samsudin.
di copy dari Riri Fahlen di 11.29
tema : Minangkabau, Sejarah Lokasi: Pariangan, Indonesia
Penyebaran Orang
Minangkabau ke Wilayah Rantau
Pada suatu ketika di Nagari Pariangan[1], daerah yang
menjadi awal mula perkembangan masyarakat Minangkabau menyebar dan
berkembang ke daerah-daerah di sekitarnya yang belum ditaruko[2] dan
ditempati, hingga menyebar ke wilayah-wilayah yang ada seperti sekarang
ini. Penyebaran ini bermula dari dilakukannya ekspedisi ke arah dua mata
angin, ke arah Timur munculah dua wilayah baru, yaitu Dusun Tuo Limo
Kaum dan daerah Bungo Setangkai yang sekarang merupakan Nagari Sungai
Tarab. Ke wilayah barat dikenal sebagai ekspedisi Batipuh, daerah
pertama yang dibuka adalah Nagari Sabu.
Setelah ekspedisi tersebut, semakin banyaklah masyarakat
yang ada di Pariangan Padang Panjang saat itu membentuk
kelompok-kelompok ekspedisi untuk mencari daerah baru yang mereka yakini
nantinya dapat dijadikan sebagai daerah pemukiman baru bagi anak
kemenakannya nanti. Diantara kelompok-kelompok ekspedisi yang berangkat
dari Pariangan, ada satu kelompok ekspedisi yang dipimpin oleh Sutan Nan
Qawi Majoano. Dalam kelompok ekspedisi ini terdiri dari delapan orang
yaitu; Sutan Nan Qawi Majoano, Rapu Sarok, Ramang Putih, Ramang Hitam,
Candi Aluih (dikenal sebagai Niniak orang Melayu), Rabaani (dikenal
sebagai Niniak orang Durian), Kumbo (dikenal sebagai Niniak orang
Bariang) dan Indalan.
Mereka berangkat dari Pariangan dengan menyusuri
daerah-daerah yang berada dalam sailiran[3] Batang Bangkaweh, kemudian
terus menuju ke Selatan Koto Basa Damasraya. Dari daerah ini perjalanan
diteruskan menuju arah selatannya lagi yaitu dengan melewati beberapa
daerah antara lain; melintasi Batang Kuantak dan Batang Hari sampai ke
Muaro Tebo dan Muaro Bungo. Dari daerah ini mereka naik Biduak
Pongkong[4], hingga sampai di daerah Durian Ditakuak Rajo. Perjalanan
mereka selanjutnya diteruskan memudiki Batang Hari sampai ke hulu Batang
Suliti dan akhirnya sampai ke sebuah lembah yang indah, airnya jernih
udaranya sejuk. Di daerah inilah diputuskan untuk mengembangkan
penghidupan, awalnya daerah ini mereka namai Rimbo Anok sekarang dikenal
sebagai Alam Surambi Sungai Pagu.
Sementara itu di Pariangan, karena telah begitu lama
rombongan ekspedisi yang dipimpin oleh Sutan Nan Qawi Majoano tidak ada
kabar beritanya tentang keberadaan mereka. Berita ini mejadi buah bibir
dalam Nagari Pariangan hingga akhirnya berita ini sampai didengar Raja
Di Pagaruyung. Mendegar berita tersebut, Raja memerintahkan Basa Ampek
Balai membentuk kelompok untuk mencari dan menelusuri jejak perjalanan
kelompok ekspedisi yang dipimpin Sutan Nan Qawi Majoano. Maka
dibentuklah sebuah rombongan yang berjumah sebanyak 60 orang, berangkat
mencari ke arah hilangnya Sutan Nan Qawi Majoano yang dipimpin oleh
Inyiak Alang Palabah dan Inyiak Majolelo.
Dari Pariangan rombongan ini berangkat menuju Singkarak dan
bertemu dengan 13 orang Niniak yang melarikan diri dari Agam. Kedua
rombongan ini bergabung melakukan perjalanan hingga sampai daerah
Sirukam dan Supayang. Di tempat ini kedua rombongan ini berpisah, Niniak
yang 60 orang itu melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju Lembah
Gumanti (Alahan Panjang). Perjalanan diteruskan ke hulu Sungai Batang
Hari. Hingga sampai di sebuah tempat yang bernama Bukit Tanaman Batu.
Di daerah ini salah seorang Niniak (bernama Si Padeh) yang
berjumlah 60 orang itu sakit (perut) dan akhirnya meninggal dunia.
Setelah dikuburkan, maka Niniak yang tinggal 59 orang, menamakan daerah
tempat Niniak yang meninggal dunia itu Bukit Sipadeh, sekarang berada di
Kecamatan Lembah Gumanti dan arahnya setentang ke arah timur dari
Nagari Titian Paning. Akibat peristiwa itu, setelah Sipadeh meninggal
dunia, maka Niniak yang tinggal 59 orang dikenal kemudian di Alam
Surambi Sungai Pagu sebagai Niniak Kurang Aso 60, maksudnya kurang satu
dari 60. Dalam perjalanan berikutnya Niniak Kurang Aso 60 melewati
daerah Surian, di daerah ini terjadi peristiwa hilangnya pisau salah
seorang Niniak Kurang Aso. Setelah sekian lama melakukan perjalanan,
akhirnya rombongan yang dipimpin oleh Inyiak Alang Palabah dan Majolelo
sampai di Nagari Pasir Talang sekarang bertemu dengan kelompok Sutan Nan
Qawi Majoano.
Ajakan Niniak Kurang Aso kepada Sutan Nan Qawi Majoano untuk
kembali ke Pagaruyung ditolak. Sutan Nan Qawi Majoano beralasan,
“Apalagi yang dicari, disini buminya subur hawanya sejuk pula, airnya
jernih ikannya jinak. Apalagi pemandangan menyejukkan mata. Kembali ke
Pagaruyung, kita pun akan berusaha demi anak kemenakan”. Akhirnya Niniak
Kurang Aso 60 bisa memahami alasan Sutan Nan Qawi Majoano tetap betahan
di Rimbo Anok. Niniak Kurang Aso 60 pun tertarik untuk tinggal dan
mengabungkan diri dengan kelompok Sutan Nan Qawi Majoano.
Munculnya suku di Rimbo Anok/Alam Surambi Sungai Pagu,
dibentuk setelah kedatangan rombongan Niniak Kurang Aso 60. Berdasarkan
kata mufakat, dibentuklah sebuah susunan masyarakat Alam Surambi Sungai
Pagu menurut adat Koto Piliang dan mereka susun tata cara pemerintahan
menurut adat Pagaruyung.
Peta Pola Penyebaran Masyarakat Minangkabau Ke Daerah Rantau.
Setelah disusun dan dibentuknya struktur kehidupan dan
pemerintahan di Surambi Sungai Pagu. Maka diutuslah utusan ke Pagaruyung
untuk menghadap Raja. Utusan ini bertugas menyampaikan pesan bahwa:
“urang rantau lah batamu, hati sanang padi manjadi. Penduduk berkembang
biak rukun dan damai, dagang tak tercinto nak pulang. Dari itu penduduk
Alam Surambi Sungai Pagu meminta pengesahan Raja Pagaruyung untuk
dapat diangkat pula seorang raja di Sungai Pagu. Permintaan itu
dikabulkan Raja Pagaruyung tapi dengan syarat:
1. Boleh mengangkat Raja di Alam Surambi Sungai Pagu tetapi tidak
sama kedudukannya dengan Raja Pagaruyung. Raja Sungai Pagu tetap menjadi
dunsanak kandung dari Raja Pagaruyung.
2. Walaupun telah mempunyai ranah rantau nan damai, namun Pagaruyung
jangan sampai tidak dikunjungi (setidak-tidaknya sekali semusim angin
beralih).
Dengan persetujuan dan diiringi restu Raja Pagaruyung, maka atas mufakat
orang-orang di Sungai Pagu, orang yang dituakan sebagai Raja dalam Alam
Surambi Sungai Pagu adalah yang bergelar Tuanku Rajo Disambah Bagindo
Sutan Basa[5] yang tetap berkedudukan di Kampung Dalam Bandar Lakum.
Dalam menjalankan pemerintahannya raja mengangkat 4 orang Raja yang
bertugas sebagai pimpinan dalam 4 suku besar yang ada. Tujuannya adalah
untuk lebih memudahkan beliau untuk menjaga ketentraman hidup dalam
masyarakat Sungai Pagu.
Raja Pagaruyung mengakui keberadaan Kerajaaan Alam Surambi Sungai Pagu
berdasarkan telah berkembangnya penduduk di daerah tersebut. Begitu
jauhnya jarak dengan Kerajaan Pagaruyung, maka Raja memutuskan untuk
menjadikan daerah tersebut sebagai daerah rantau nan barajo. Seiring
dengan berjalannya waktu, sistem pemerintahan di Sungai Pagu terus
dibenahi dan ditata hingga diangkatlah seorang Raja. Dalam struktur
pemerintahannya, Raja dibantu oleh beberapa orang Andhiko (basa) untuk
menjalankan pemerintahannya, yaitu :
1. Tuanku Bagindo Sari Pado (Melayu)
2. Tuanku Rajo Batua (Panai)
3. Tuanku Bagindo (Kampai Nan 24)
4. Tuanku Rajo Malenggang (Lareh Nan Tigo (bakapanjangan).
Susunan ini terus menerus diwariskan di Alam Surambi Sungai Pagu.
tatanan penempatan ini merupakan keputusan Raja Alam Surambi Sungai
Pagu, sebagai pucuk kaum masing-masing.
Rombongan Niniak Kurang Aso di Bandar Lakum mendirikan sebuah dusun yang
bernama Koto Melayu. Dikarenakan semakin berkembang dan bertambahnya
penduduk Sungai Pagu. Maka atas perintah Raja Tuanku Rajo Disambah
Bagindo Sutan Basa, Inyiak Alang Palabah yang merupakan salah seorang
pimpinan rombongan Niniak Nan Kurang Aso 60. Beliau Diperintahkan untuk
mencari daerah-daerah baru yang nantinya kelak akan dijadikan sebagai
tempat pemukiman baru untuk masyarakat Sungai Pagu yang dari waktu ke
waktu terus bertambah. Seperti di Surian, Raja Surambi Sungai Pagu
mengangkat dua orang Penghulu paruik gadang karena telah berkembang pula
baparuik gadang, dengan gelar adat :
· Datuk Rajo Johan (Kaum Caniago)
· Datuk Sati (Melayu)
Dalam tata perkembangan nagari dua kaum ini juga ikut dalam perkembangan
masyarakat Nagari Surantih melalui Surian. Sementara dari ekspedisi
yang dipimpin Inyiak Alang Palabah diperkirakan muncul daerah pemukiman
baru yang kemudian dikenal saat ini sebagai wilayah Kerajaan Banda
Sepuluh yang terdiri dari beberapa Nagari yang antara lain adalah Batang
Kapeh, Taluk, Surantih, Amping Parak, Kambang, Lakitan, Pelanggai,
Punggasan, Sungai Tunu dan Air Haji.
[1] Menurut Tambo Alam Pariangan, Pariangan merupakan nagari pertama
yang dibuka oleh Suri Maharajo Dirajo bersama pengikutnya setelah
terdampar di Puncak Gunung Merapi tepatnya di Labuhan Sitimbago. Setelah
air surut dan setapak demi setapak daratan bertambah luas, maka
turunlah Sutan Maharajo Dirajo bersama rombongannya menuruni Puncak
Gunung Merapi.
[2] Ditaruko/menaruko artinya dibuka/membuka lahan baru untuk dijadikan
sebagai pemukiman baru dan bercocok tanam.
[3] Sailiran artinya sealiran sungai/batang air.
[4] Biduak Pongkong merupakan sebuah perahu yang terbuat dari bilah
(dari bambu) berbentuk rakit.
[5] Nama kecil dari raja pertama yang memerintah kerajaan Alam Surambi
Sungai Pagu adalah Samsudin.
Diposkan oleh Riri Fahlen di 11.29 Kirimkan Ini lewat
EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Minangkabau, Sejarah
Lokasi: Pariangan, Indonesia
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar