kerajaan MINANGA TAMWAN setelah mendirikan candi muara takus, tumbuh semakin pesat, ramai rakyat kerajaan ini yang berlayar dan berniaga di berbagai daerah, istilah orang dahulu menyebut mereka berlayar adalah dengan istilah MALAJU yang memiliki makna sama dengan MELAJU atau identik dengan menjalankan perahu mereka dengan laju laju atau cepat, sebab mereka terkenal sebagai bangsa MARITIM yang sangat handal dan kuat, memiliki pemahaman tentang kelautan dan perbintangan sehingga mereka sangat di segani dan tentara laut mereka sangat di takuti, tak ada yang bisa mengalahkan mereka di lautan luas, mereka berani berperahu dengan kapal kecil menyeberangi samudera luas yang konon masa itu masih sangat luas, karena wilayah lautan masih lebih luas di bandingkan daratan.
dengan makin ramainya rakyat dan suku bangsa ini malaju, lambat laun orang - orang dari kerajaan minanga tamwan ini di kenal dengan sebutan MALAYU di ambil dari kata atau ejaan lama MALADJOE.
pengaruh kerajaan minanga tamwan ini makin lama makin pesat, kekayaan alam berupa emas yang di milikinya juga hasil buminya menjadi sangat masyur di seantero jagat.
ternyata tidak saja orang dari minanga tamwan yang di sebut malaju atau malayu, yang dari kawasan PAGARUYUNG dan sekeliling kerajaan MERAPI atau MAHAMERU ( gunung besar) di sebut orang sebagai bangsa MALAYU karena kesamaan bahasa dan kemampuan mereka berlayar di lautan.
tidak demikian dengan kerajaan MINANGA TAMWAN, kerajaan PAGARUYUNG memiliki kemampuan berlayar dan berperang di lautan lebih tangkas dan terkenal ahli strategi. sehingga kerajaan MINANGA TAMWAN tidak berani menyerang dan mengganggu kerajaan MERAPI yang berada di bawah perserikatan yang di pimpin oleh PAGARUYUNG dengan rajanya CINDUA MATO.
demikianlah dua kerajaan besar ini saling bersaing dan bertahan, kerajaan pagaruyung mempertahankan beberapa wilayah - wilayah kerajaan di beberapa buah kaki gunung.
sedikit info tentang kerajaan MINANGA TAMWAN dari sisi para ahli dan pakar sejarah :
[1] Soegiarso Soerojo. 1998 “Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai”. Jakarta: PT. Rola Sinar Perkasa. Hlm., xv.
[2] Lihat Jefry Hadler. 2010. “Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau”. Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm., 18.
[3] Mid Jamal. 1982. “Manyigi Tambo Alam Minangkabau: Studi Perbandingan Sejarah”. Bukittinggi: CV. Tropik. Hlm.,16.
[5] Mid Jamal. 1982. “Manyigi Tambo Alam Minangkabau: Studi Perbandingan Sejarah”. Bukittinggi: CV. Tropik. Hlm., 27-28.
[6] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 7.
[7] Bandingkan
dengan pendapat I-Tsing, dengan berkiblat pada pendapat I-Tsing, maka
hanya sedikit sarjana yang meragukan bahwa Melayu yang disebut I-Tsing
itu adalah Jambi, tetapi tidak semua orang percaya bahwa Sriwijaya sudah
berdiri di Palembnang pada 671 M. Meskipun demikian, negeri yang
dikenal I-Tsing sebagai Sriwijaya itu ibukonya terletak di Palembang dan
bukan di tempat lain. Lihat dalam O.W. Wolters. 2011. “Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunnia Abad III- Abad VII”. Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm., 251-253.
[8] Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm., 73.
[9] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 53. Lihat Nadra. 2006. “Rekonstruksi Bahasa Minangkabau”. Padang: Andalas University Press. Hlm., 10. Lihat juga dalam H. Musyair Zainuddin. 2011. “Membangkit Batang Terendam: Adat Salingka Nagari di Minangkabau”. Yogyakarta: Ombak. Hlm., 37-39.
[10] Amir Sjarifoedin Tj.A. 2011. “Minangkabau dari Dinasti Zulkarnain sampai Tuanku Imam Bonjl”. Jakarta: PT: Gria Prima. Hlm., 16.
[11] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 53. Lihat Nadra. 2006. “Rekonstruksi Bahasa Minangkabau”. Padang: Andalas University Press. Hlm., 10. Lihat juga dalam H. Musyair Zainuddin. 2011. “Membangkit Batang Terendam: Adat Salingka Nagari di Minangkabau”. Yogyakarta: Ombak. Hlm., 37-39.
[12] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 53.
[13] Nama Upang itu memang
dijumpai di peta-peta kuno, dan masih ada sebagai nama sebuah desa
kecil di sebelah timur laut Palembang di tepi Sungai Musi. Selain itu,
Boechari juga menduga bahwa prasati Kedukan Bukit memperingati usaha
penaklukan daerah sekitar Palembang oleh Dapunta Hyang dan pendirian ibu
kota baru atau ibu kota yang kedua ditempat ini.
Masalahnya ialah, apakah
Desa Upang ini sama dengan toponim Mukha Upang dalam prasasti Kedukan
Bukit, perlu penelitian lebih lanjut. Temuan pecahan keramik Cina di
Desa Upang setelah diteliti oleh Abu Ridho, ternyata tidak ada yang
berasal dari abad VII atau VIII, melainkan berasal dari abad XIV sampai
abad XVIII. Lihat dalam Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm., 74.
[14] Setelah kata wanua
batu prasastinya aus/rusak sehingga sukar untuk memperkirakan berapa
huruf yang hilang. Akan tetapi, ada kemungkinan juga bahwa kalimat di
baris ke-9 ini selesai sampai kata wanua ini saja, artinya setelah kata wanua ini tidak ada kata lainnya. Lihat Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hm.,.72.
[15] Lihat juga dalam Paul Michel Munoz. 2009. “Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia”. Yogyakarta: Mitra Abadi. Hlm., 168.
[16] Ph.S van Ronkel membaca kata ini menanga hamwar, sedangkan G. Coedes dan R.Ng. Poerbatjaraka membacanya minanga kamwar untuk
menunjang pendapatnya bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ialah daerah
Minangkabau atau sekitar pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar
Kiri. Lihat dalam Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hm.,.72.
[17] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 7-8.
[18] Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. “Sejarah Nasional Indonesial II”. Cet. 4. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Hm., 73.
[19] A.A. Navis 1984.“Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau”. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Hlm., 8.
[20] Dalam Disertasi Siti Chairani Proehoeman. 2006. “Dendang Darek: Alternatif Pengembangan Cara Menyanyi Tradisional ke Cara yang Sesuai Dengan Kaidah Fisiologi”. UGM. Hlm., 81. Tidak dipublikasikan.
[21] Dalam Amir M.S. 2007. “Adat MMinangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang”. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. Cet., ke-6. hlm., 50-52.
biasa aja ngabbb
BalasHapusdfjyrsjryr4vrgfyfhvyu4rgv4ytbyt4bkngbhbgfvhhgjhvdjxrydysjvcegty irbgr bqurb2u egfbhevgyuhrvy
BalasHapuskode rahasia udinnn
Hapus