SEJARAH SUMATERA DAN SUNDA LAND
pernahkah kita membayangkan keadaan pulau sumatera, kalimantan, jawa, semenanjung malaysia bersatu, itulah yang sering kita sebut sebagai SUNDA LAND, sebagian orang menyebut sebagai PAPARAN SUNDA atau TATAR PASUNDAN.
tak dapat kita bayangkan berapa luasnya tanah sunda land di masa itu, dan tentunya pergerakan mahluk hidup di atasnya sungguh luar biasa.
dan tentunya di masa itu kita berpikir adakah kehidupan dan peradaban pada masa itu? nah, kita semak beberapa informasi di bawah ini :
Bangsa Lemuria dan Sundaland adalah dua teori yang berkaitan dengan keberadaan peradaban kuno yang pernah ada di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Samudra Hindia dan Asia Tenggara. Teori ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, namun terdapat beberapa bukti geologis yang mendukungnya.
Perspektif geologi tentang Lemuria dan Sundaland didasarkan pada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa wilayah yang sekarang dikenal sebagai Samudra Hindia dan Asia Tenggara pernah menjadi satu daratan yang luas pada zaman es terakhir. Hal ini menyebabkan wilayah ini menjadi lebih terbuka dan memungkinkan manusia untuk bermigrasi dan menetap di wilayah ini.
sumber :
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Peradaban Indonesia: Lemuria, Sundaland Kreator: ADI PUTRA (Adhyp Glank)
 |
gambar bentuk dari sebuah daratan yang sangat luas yaitu sundaland |
dari sedikit penjelasan di atas dapat kita kembangkan menjadi beberapa penjelasan lainnya seperti :
Berdasarkan perspektif geologi, teori Lemuria dan Sundaland memiliki implikasi penting bagi bangsa Indonesia. Teori ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki sejarah yang lebih panjang dari yang diperkirakan sebelumnya. Selain itu, teori ini juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan bangsa-bangsa lain di wilayah Asia Tenggara.
lalu kenapa bisa terbentuknya daratan sunda land?
Bukti geologis yang mendukung teori Lemuria dan Sundaland adalah pada zaman es terakhir, permukaan air laut lebih rendah 100 hingga 150 meter dari sekarang. Hal ini menyebabkan wilayah yang sekarang dikenal sebagai Samudra Hindia dan Asia Tenggara menjadi satu daratan yang luas

Sundalandia adalah wilayah bio-geografi Asia Tenggara yang meliputi
Paparan Sunda, bagian landas kontinen Asia yang terekspos selama Zaman
Es terakhir. Periode Glasial Terakhir, dikenal sebagai Zaman Es
Terakhir, adalah periode glasial terakhir dalam rangkaian panjang Zaman
Es yang terjadi selama tahun-tahun terakhir Pleistosen, dari sekitar
110.000 sampai 12.000 tahun yang lalu. Sundalandia meliputi Semenanjung
Malaya di daratan Asia, serta pulau-pulau besar Kalimantan, Jawa dan
Sumatera, dan pulau-pulau sekitarnya. Batas timur Sundalandia adalah
Garis Wallace, diidentifikasi oleh Alfred Russel Wallace sebagai batas
timur kisaran daratan fauna mamalia Asia, dan juga sebagai batas zona
ekosistem Indomalaya dan Australasia. Pulau-pulau di sebelah timur garis
Wallace dikenal sebagai Wallacea, dan dianggap sebagai bagian dari
Australasia. Perlu dicatat bahwa saat ini secara umum telah diterima
bahwa Asia Tenggara adalah merupakan titik masuk migrasi manusia modern
dari Afrika.
Nama "Sundalandia" pertama kali diusulkan oleh van Bemmelen pada tahun
1949, diikuti oleh Katili (1975), Hamilton (1979) dan Hutchison (1989),
untuk menggambarkan sebuah inti benua Asia Tenggara yang membentuk
bagian selatan lempeng Eurasia. Sundalandia berbatasan di sebelah barat,
selatan dan timur dengan wilayah tektonik aktif yang ditandai dengan
kegempaan dan aktivitas gunung berapi yang intensif. Zona tektonik aktif
ini secara efektif merupakan sabuk pegunungan dalam proses
pembentukannya, dan mengandung banyak fitur yang biasanya dianggap
berhubungan dengan akresi pegunungan: terdapat subduksi aktif, transfer
material pada batas lempeng, contoh tumbukan dengan fitur apung di
lempeng samudera, busur dan benua dan banyaknya magmatisme.
Sabuk pegunungan yang ada sekarang terletak di persimpangan tiga lempeng
utama: Lempeng Eurasia, Lempeng India, Lempeng Australia dan Lempeng
Laut Pasifik-Filipina. Lempeng=lempeng ini mengelilingi Sundalandia dan
membentang dari Sumatera ke Filipina melalui Indonesia timur.
Karakteristik dan lebarnya berubah dari barat ke timur dan terdiri dari
segmen-segmen yang berbeda atau jahitan-jahitan dengan karakter yang
berbeda.
Migrasi Manusia
Menurut teori sebelumnya, nenek moyang masyarakat Austronesia modern di
kepulauan Melayu dan wilayah yang berdekatan diyakini telah bermigrasi
ke selatan, dari daratan Asia Timur ke Taiwan, dan kemudian ke seluruh
kepulauan Asia Tenggara. Namun, temuan terakhir menunjukkan bahwa
Sundalandia yang sekarang terendam adalah merupakan awalmula peradabah:
disebut sebagai teori "Keluar dari Sundalandia".
Stephen Oppenheimer menempatkan asal Austronesia di Sundalandia dan
daerah-daerah diatasnya. Penelitian genetik yang dilaporkan pada tahun
2008 menunjukkan bahwa pulau-pulau yang merupakan sisa-sisa Sundalandia
kemungkinan besar dihuni sedini 50.000 tahun yang lalu, bertentangan
dengan hipotesis sebelumnya (Bellwood dan Dizon, 2005) bahwa daerah
tersebut dihuni paling lambat 10.000 tahun yang lalu dari Taiwan.
Sebuah studi oleh Universitas Leeds yang dipublikasikan dalam Molecular Biology and Evolution pada
tahun 2008, yang meneliti garis keturunan DNA mitokondria, menunjukkan
bahwa manusia telah mendiami pulau-pulau di Asia Tenggara dalam jangka
waktu yang lebih lama dari yang diyakini sebelumnya. Penyebaran penduduk
tampaknya telah terjadi pada saat yang sama dengan naiknya permukaan
laut, yang telah mengakibatkan migrasi dari Kepulauan Filipina ke utara
menuju Taiwan dalam 10.000 tahun terakhir. Migrasi penduduk yang paling
mungkin adalah karena didorong oleh perubahan iklim – sebagai efek
tenggelamnya sebuah benua kuno. Naiknya permukaan laut dalam tiga pulsa
besar mungkin telah menyebabkan banjir dan perendaman di Sundalandia,
menciptakan Laut Jawa dan Laut Tiongkok Selatan, dan ribuan pulau yang
membentuk Indonesia dan Filipina kini. Berubahnya permukaan laut
menyebabkan manusia tersebut untuk menjauh dari kediaman pantai dan
budaya mereka, dan berpindah ke pedalaman di seluruh Asia Tenggara.
Migrasi paksa ini menyebabkan manusia untuk beradaptasi dengan
lingkungan hutan dan pegunungan baru, mengembangkan pertanian dan
domestikasi, dan menjadi pendahulu manusia masa depan di wilayah ini.
Penelitian dan studi oleh HUGO Pan-Asian SNP Consortium pada tahun 2009,
yang dilakukan dalam dan antara populasi yang berbeda di benua Asia,
menunjukkan bahwa keturunan genetik sangat berhubungan dengan
kelompok-kelompok etnis dan bahasa. Terdapat peningkatan yang jelas
dalam keragaman genetik dari utara ke selatan. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa ada satu aliran migrasi utama manusia ke Asia yang
berasal dari Asia Tenggara, bukan beberapa aliran dalam dua arah
selatan-utara seperti yang diusulkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan
bahwa Asia Tenggara merupakan sumber geografi utama populasi Asia Timur
dan Asia Utara. Populasi Asia Timur terutama berasal dari Asia Tenggara
dengan kontribusi kecil dari kelompok Asia Tengah-Selatan. Penduduk
pribumi Taiwan berasal dari Austronesia. Hal ini berlawanan dengan teori
bahwa Taiwan merupakan "tanah air" leluhur bagi populasi di seluruh
Indo-Pasifik yang berbicara bahasa Austronesia.

Pembudidayaan
Penelitian-penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa pembudidayaan
beberapa tanaman pertanian dan hewan peliharaan pertama kali dilakukan
di Sundalandia dan wilayah-wilayah sekitarnya yang erat kaitannya dengan
penyebaran penduduk dari Sundalandia. Namun demikian,
penelitian-penelitian tersebut terbatas pada penemuan-penemuan yang ada
pada saat ini saja. Di Sundalandia, kedua pembudidayaan tersebut tidak
terlepas dari lingkungan air, baik itu sungai maupun laut, yang keduanya
bertemu di muara sungai. Dengan demikian dapat diduga bahwa pusat-pusat
peradaban awal adalah dimulai dari lingkungan muara sungai, seperti
telah dibahas diatas. Namun, muara-muara sungai besar di Sundalandia
pada masa Zaman Es Akhir saat ini berada dibawah permukaan laut. Dapat
diduga bahwa bukti-bukti pembudidayaan yang paling tua belum dapat
ditemukan karena berada di dasar laut dan bukti-bukti yang ada saat ini
adalah di daratan yang lebih tinggi sehingga usianya lebih muda. Selain
itu, Sundalandia memiliki aktifitas gunung berapi yang tinggi sehingga
daratan yang ada saat ini telah tertutup abu volkanik yang sangat tebal,
yang menjadi hambatan yang cukup serius untuk menemukan bukti-bukti
arkeologinya.
Kelapa
Analisis DNA terhadap lebih dari 1.300 buah kelapa dari seluruh dunia mengungkapkan bahwa kelapa (Cocos nucifera) pada awalnya dibudidayakan di dua lokasi terpisah, yaitu di sekitar Samudera Pasifik dan Hindia (Baudouin et al, 2008; Olsen et al,
2011). Selain itu, genetika kelapa juga tercatat dalam rute perdagangan
pra-sejarah dan kolonisasi Amerika. Di sekitar Samudera Pasifik, kelapa
pertama kali dibudidayakan di kepulauan Asia Tenggara, yaitu Filipina,
Malaysia, Indonesia, dan mungkin juga di daratan Asia. Di sekitar
Samudera Hindia, kemungkinan pusat budidayanya adalah pinggiran selatan
India, termasuk Srilanka, Maladewa dan Lakadewa. Kelapa dari sekitar
Samudera Pasifik diperkenalkan ke sekitar Samudera Hindia beberapa ribu
tahun lalu oleh masyarakat penutur Austronesia kuno yang membangun jalur
perdagangan yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Madagaskar dan
pesisir Afrika timur.
Padi
Dalam buku Eden in the East (1998), Stephen Oppenheimer mengklaim
bahwa budidaya padi bukan dimulai di Tiongkok tetapi di Semenanjung
Malaya, 9.000 tahun lalu. Butiran beras telah ditemukan, yang berusiakan
antara 7.000 sampai 5.000 SM, di Semenanjung Malaya. Periode ini adalah
beberapa ribu tahun lebih tua dari kedatangan orang-orang Austronesia
dari Taiwan yang diduga telah membawa teknologi pertanian ke Asia
Tenggara.
Ada empat varietas utama padi: japonica, berbutir pendek yang tumbuh di Jepang, Korea dan Tiongkok timur; indica, berbutir panjang yang umum di India, Pakistan dan sebagian besar Asia Tenggara; aus, tumbuh terutama di Banglades; dan beras wangi, yang meliputi varietas yang lebih eksotis seperti basmati di India dan melati di Thailand. Para ilmuwan terutama memfokuskan pada indica dan japonica karena temuan arkeologi menunjukkan keduanya memiliki sejarah budidaya yang panjang. Para peneliti umumnya sepakat bahwa japonica
telah dibudidayakan di Tiongkok selatan atau Asia Tenggara antara 8.200
dan 13.500 tahun lalu. Lokasi yang tepat masih diperdebatkan.
Para ahli masih memperdebatkan asal pembudidayaan indica. Peter
Civáň dari University of Manchester, Inggris dan timnya pada 2015,
dengan membandingkan DNA dari 1.083 varietas padi modern dengan 446
sampel padi yang diambil dari seluruh Asia Selatan, telah melacak
kembali sejarah tanaman tersebut menjadi tiga jenis padi yang berbeda. Japonica,
yang disukai di Jepang, ditelusuri kembali dari tengah Lembah Yangtze
di Tiongkok Selatan. Tim tersebut telah melacak kembali kelompok indica ke lembah Sungai Brahmaputra yang mengalir dari Himalaya, sementara kelompok aus berasal dari wilayah yang sekarang India dan Banglades.
Namun demikian, penelitian tentang asal pembudidayaan padi masih terus
berjalan. Dapat diduga bahwa bukti-bukti budidaya padi yang paling tua
belum dapat ditemukan karena berada di dasar laut dan bukti-bukti yang
ada saat ini adalah di daratan yang lebih tinggi sehingga usianya lebih
muda. Bukti-bukti di daratan juga belum tentu mencerminkan kondisi yang
sebenarnya karena daerah Sundalandia adalah pada umumnya tertutup oleh
abu volkanik yang sangat tebal.n.
Pisang
Pisang (Musa spp) diyakini berasal lebih dari 10.000 tahun yang
lalu dan beberapa ilmuwan percaya bahwa pisang adalah buah-buahan yang
pertama kali dibudidayakan. Pisang yang ada saat ini jauh lebih baik
daripada buah liar asli yang berisi banyak biji yang besar dan keras dan
rasanya kurang enak. Dua varietas pisang liar, Musa acuminata dan Musa baalbisiana telah dipersilangkan sehingga menghasilkan pisang tanpa biji seperti yang ada saat ini.
Pisang diperkirakan pertama kali tumbuh di daerah yang mencakup
Semenanjung Malaya, Indonesia, Filipina dan Papua. Dari sini, para
pedagang dan penjelajah membawanya ke India, Afrika dan Polinesia.
Sebuah kitab Buddha, dikenal sebagai Pali Canon, kira-kira pada
600 SM, mencatat pedagang India yang melakukan perjalanan melalui
wilayah Melayu telah memakan buah tersebut dan membawa pulang tanaman
itu. Pada 327 SM, ketika Alexander Agung dan pasukannya menyerbu India,
ia mendapati tanaman pisang di lembah India. Setelah mencicipi buah yang
tidak biasa ini untuk pertama kalinya, ia memperkenalkan penemuan baru
ini kepada dunia Barat.
Pisang telah menyebar ke Tiongkok pada sekitar 200 M. Menurut sejarawan
Tiongkok Yang Fu, pisang hanya pernah tumbuh di wilayah Tiongkok
selatan. Pisang di Tiongkok tidak pernah benar-benar populer sampai abad
ke-20 karena dianggap sebagai buah yang asing, aneh dan eksotis. Pisang
mulai dikembangkan di Afrika sekitar 650 M.
Diperkirakan bahwa pedagang dari Arab, Persia, India dan Indonesia
mendistribusikan pisang ke sekitar daerah pesisir Samudera Hindia antara
abad ke-5 dan ke-15. Pelaut Portugis mendapatkan pisang di Afrika Barat
dan perkebunan pisang didirikan pada abad ke-15 di lepas pantai
negaranya, di Kepulauan Kanaria. Antara abad ke-16 dan ke-19, pisang
diperdagangkan di Amerika dan perkebunan-perkebunan didirikan di Amerika
Latin dan Karibia. Tanaman pisang pertama kali tiba di Australia pada
tahun 1800-an.
Tebu
Tebu (Saccharum spp) kemungkinan pertama kali dibudidayakan oleh
masyarakat Papua, sekitar 8.000 SM. Namun, teknik ekstraksi dan
teknologi pemurniannya lalu dikembangkan oleh orang-orang yang tinggal
di India. Setelah pembudidayaan tersebut, kemudian menyebar dengan cepat
ke Asia Tenggara dan Tiongkok Selatan. Di India, dimana proses
penyulingan sari tebu menjadi kristal butiran dikembangkan, sering
dikunjungi oleh konvoi kekaisaran (seperti dari Tiongkok) untuk belajar
tentang budidaya dan penyulingan tebu. Pada abad ke-5, budidaya tebu dan
pengolahannya telah mencapai Persia; dan dari sana pengetahuan tersebut
dibawa ke Mediterania oleh ekspansi Arab.
Eksplorasi dan penaklukan oleh Spanyol dan Portugis pada abad ke-15
membawa tebu ke baratdaya Iberia. Henry the Navigator memperkenalkan
tebu ke Madeira pada 1425, sementara Spanyol, yang akhirnya dapat
menaklukkan Kepulauan Kanaria, memperkenalkan tebu disana. Pada 1493,
dalam perjalanan kedua, Christophorus Columbus membawa bibit tebu ke
Amerika, khususnya Hispaniola.
Cabai
Penelitian yang ada menunjukkan bahwa cabai (Capsicum spp)
dibudidayakan lebih dari 6.000 tahun lalu di Meksiko, di wilayah yang
meluas dari Puebla Selatan dan Oaxaca Utara sampai ke Veracruz Tenggara,
dan merupakan salah satu tanaman dengan penyerbukan sendiri yang
dibudidayakan di Meksiko. Namun, cabai telah disebutkan dalam Siva Purana dan Wamana Purana, di India, yang berusiakan sekitar abad ke-6 sampai ke-8 M (Banerji, 1980). Nama Sansekerta-nya adalah marichi-phalam yang diterapkan untuk Capsicum annuum dan Capsicum frutescens
(Nadkarni, 1914). Tanaman dan buahnya secara natural digambarkan dalam
ukiran batu di sebuah candi Siwa di Tiruchirapalli, Tamil Nadu (Gupta,
1996). Sebuah ukiran tanaman cabai yang sangat eksplisit ditemukan pada
panel dinding reruntuhan di kompleks Candi Prambanan, Jawa Tengah, yang
berusiakan seribu tahun lebih.
Jagung
Penelitian yang ada menunjukkan bahwa jagung (Zea mays)
dibudidayakan kurang lebih 10.000 tahun lalu oleh orang asli Meksiko.
Namun, penyelidikan lapangan telah menemukan jenis jagung yang tidak
biasa yang tumbuh di Asia (terutama di suku Sikkim di pedalaman Himalaya
dan varietas “berlilin” di Myanmar, seluruh Tiongkok dan Semenanjung
Korea), sebagian besar jauh dari daerah pesisir. Karakteristik dan
distribusi jagung ini tidak dapat dijelaskan pada masa pasca-Columbus,
karena varietas berlilin tidak dikenal di Amerika. Johannessen et al
(1998a, 1989a) telah mendokumentasikan secara luas bahwa ukiran jagung –
ratusan jumlahnya – terdapat pada dinding candi di Karnataka, India
selatan. Seni ini biasanya berasal dari abad ke-11 sampai ke-13 M,
tetapi beberapa buah adalah jauh lebih tua. Empat kata Sansekerta untuk
jagung telah teridentifikasi, sedangkan Garuda Purana dan Linga Purana
di India (abad ke-5 M) telah mencatat tentang jagung. Sebuah keramik
yang ditemukan di Zhenghou, Tiongkok yang berusiakan sekitar 2.000 tahun
menunjukkan bekas jagung yang tercetak sebelum dibakar. Sebuah ukiran
tanaman jagung ditemukan pada panel dinding reruntuhan di kompleks Candi
Prambanan, Jawa Tengah, di samping ukiran cabai, yang berusiakan seribu
tahun lebih.
Ayam
Hasil analisis DNA purba yang dilakukan oleh Alice A Storey et al
pada 2012 terhadap 48 tulang ayam yang berasal dari data arkeologi
memberikan petunjuk tentang penyebaran ayam ternak oleh manusia
pra-sejarah. Tanda genetis haplogrup E mtDNA menghasilkan petunjuk bahwa
ayam terdapat di Eropa pada 1,000 tahun lalu dan di sekitar Pasifik
pada 3.000 tahun lalu, yang menunjukkan beberapa dispersal pra-sejarah
dari Asia. Kedua jalur penyebaran berkumpul di Amerika dimana ayam
diperkenalkan oleh masyarakat Polinesia dan kemudian oleh orang Eropa.
Penelitian yang dilakukan oleh Martin Johnsson di Department of Physics,
Chemistry and Biology Linköping University, Swedia pada 2015
menunjukkan bahwa ayam pertama kali dibudidayakan dari bentuk liarnya
yang disebut ayam hutan merah (Gallus gallus), suatu spesies ayam yang masih terdapat secara liar di sebagian besar Asia Tenggara, kemungkinan dihibridisasi dengan ayam hutan abu-abu (Gallus sonneratii),
yang dilakukan mungkin sekitar 8.000 tahun lalu. Penelitian tersebut
menunjukkan kemungkinan adanya beberapa asal daerah yang berbeda di Asia
Tenggara dan Selatan, termasuk Tiongkok Selatan dan Utara, Thailand,
Myanmar dan India.
Anjing
Penelitian yang dilakukan oleh Mattias Oskarsson di School of
Biotechnology, Royal Institute of Technology (KTH), Swedia pada 2012
menggunakan urutan DNA kromosom-Y menunjukkan bahwa anjing di Asia
Tenggara di sebelah selatan Sungai Yangtze memiliki keragaman genetis
yang tertinggi dan diturunkan dari sejumlah besar keturunan serigala. Ia
menekankan bahwa penyebaran anjing pada masa awal adalah erat
hubungannya dengan sejarah manusia dengan anjing sebagai bagian budaya
mereka. Ia untuk pertama kalinya menyelidiki penyebaran anjing dari Asia
Tenggara ke Polinesia dan Australia, dan hasilnya dapat digunakan
sebagai bukti untuk menelusuri asal-usul masyarakat Polinesia yang telah
sebelumnya terindikasikan dari studi arkeologi dan linguistis.
Peter Savolainen dari KTH-Royal Institute of Technology di Swedia dan
Ya-Ping Zhang dari Kunming Institute of Zoology di Tiongkok pada 2015
secara bersamaan menunjukkan bahwa manusia pertama kali menjinakkan
anjing di Asia Tenggara 33.000 tahun lalu, dan bahwa sekitar 15.000
tahun lalu subset nenek moyang anjing mulai bermigrasi kearah Timur
Tengah dan Afrika. Penyebaran tersebut mungkin terinspirasi oleh
sifatnya yang dapat bersahabat dengan manusia, tetapi mungkin juga bahwa
mereka melakukan perjalanannya secara mandiri. Salah satu faktor
pendorong yang mungkin adalah mencairnya gletser, yang mulai mundur
sekitar 19.000 tahun lalu. Tidak sampai 5,000 tahun setelah mereka
pertama kali mulai menyebar dari Asia Tenggara, anjing diduga telah
mencapai Eropa. Sebelum akhirnya mencapai Amerika, salah satu kelompok
di Asia telah berasimilasi dengan anjing yang telah bermigrasi kembali
ke Tiongkok Utara.
Babi
Bukti arkeologi yang ada saat ini menunjukkan bahwa babi awalnya
dibudidayakan setidaknya di dua tempat, di lembah Mekong dan di
Anatolia, wilayah di Turki kini. Studi yang dilakukan pada 2007 terhadap
materi genetis dari 323 babi modern dan 221 babi kuno di Eurasia Barat
menunjukkan bahwa babi pertama kali datang ke Eropa dari Timur Dekat,
tetapi Eropa kemudian menjinakkan babi hutan lokal, yang tampaknya
menggantikan babi asli mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Laurent Frantz dari University of Oxford,
Inggris dan Martien Groenen dari Wageningen University and Research
Centre, Belanda beserta timnya menggunakan analisis komputer canggih
terhadap 103 urutan genom keturunan babi hutan dan babi peliharaan dari
seluruh Eropa dan Asia, yang diterbitkan dalam Nature Genetics
pada 2015, menunjukkan bahwa babi memang berasal dua tempat berbeda
tersebut. Tetapi babi Eropa moderen adalah campuran yang berasal dari
beberapa populasi babi hutan. Beberapa materi genetis mereka tidak dapat
ditemukan pada DNA babi hutan yang dikumpulkan oleh para peneliti
tersebut, sehingga mereka berkesimpulan bahwa setidaknya nenek moyang
mereka berasal dari salah satu kelompok yang telah punah atau dari
kelompok lain di Asia Tenggara/Timur. Anomali ini menunjukkan bahwa babi
telah dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya, dimana mereka
diasimilasikan dengan kelompok tersebut.
Gajah Kalimantan
Asal gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) adalah
kontroversial. Dua hipotesis yang bersaing berpendapat bahwa mereka
adalah asli dari masa Pleistosen, atau dibawa dari tempat lain. Secara
taksonomi, mereka telah diklasifikasikan sebagai subspesies yang unik
atau ditempatkan dibawah subspesies India atau Sumatera. Prithiviraj
Fernando et al pada 2003 telah melakukan penelitian terhadap DNA
mitokondria gajah Kalimantan dan gajah yang terdapat di seluruh Asia. Ia
menemukan bahwa gajah Kalimantan secara genetis adalah berbeda, dengan
indikasi molekul yang divergen pada kolonisasi masa Pleistosen sekitar
300.000 tahun lalu. Pada waktu kenaikan permukaan laut di Zaman Es
terakhir yang memisahkan Pulau Kalimantan dari daratan Asia, gajah di
pulau ini menjadi terisolasi dari sepupu mereka di daratan Asia dan
Sumatera dan kemudian berkembang menjadi sub-spesies gajah Asia yang
berbeda. Gajah Jawa (Elephas maximus sondaicus) yang sekarang telah punah adalah identik dengan gajah Kalimantan.
Teori Atlantis di Sundalandia
Beberapa penulis telah secara khusus menyatakan hubungan yang jelas
antara Sundalandia dan Atlantis-nya Plato. Dataran bawah laut Sunda
adalah cukup cocok dengan deskripsi Plato tentang Atlantis. Topografi,
iklim, flora dan faunanya bersama-sama dengan aspek mitologi lokal,
semuanya menjadi hal yang meyakinkan untuk mendukung ide ini.
CW Leadbeater (1854-1934), seorang teosopis ternama, adalah mungkin yang
pertama menunjukkan adanya hubungan antara Atlantis dan Indonesia dalam
bukunya, The Occult History of Java. Peneliti-peneliti lain
telah menulis tentang prasejarah daerah tersebut, diantaranya yang
paling dikenal adalah mungkin Stephen Oppenheimer yang dengan tegas
menempatkan Taman Eden di wilayah ini, meskipun ia hanya menyebut
sedikit referensi mengenai Atlantis. Robert Schoch, bekerjasama dengan
Robert Aquinas McNally, menulis sebuah buku dimana mereka menunjukkan
bahwa bangunan piramida mungkin memiliki asal-usul dari sebuah peradaban
yang berkembang di bagian-bagian Sundalandia yang kini terendam.
Buku pertama yang secara khusus mengidentifikasi Sundalandia dengan
Atlantis ditulis oleh Zia Abbas. Namun, sebelumnya telah ada setidaknya
dua publikasi internet yang membahas secara rinci perihal Atlantis di
Asia Tenggara. William Lauritzen dan almarhum Profesor Arysio Nunes dos
Santos keduanya mengembangkan situs internet secara luas. Lauritzen juga
telah menulis sebuah e-book yang tersedia dalam situsnya, sementara
Santos mengembangkan pandangannya tentang Atlantis di Asia melalui
bukunya, Atlantis: The lost continent finally found. Dr Sunil
Prasannan membuat sebuah esai yang menarik didalam website Graham
Hancock. Sebuah situs yang lebih esoteris juga menyampaikan dukungan
mengenai teori Sundalandia.
Dukungan lebih lanjut tentang Atlantis di Indonesia terjadi pada April 2015 dengan penerbitan buku, Atlantis: The lost city is in Java Sea
oleh seorang pakar hidrologi, Dhani Irwanto, yang berupaya untuk
mengidentifikasi fitur kota yang hilang dalam rincian narasi Plato
dengan suatu lokasi di Laut Jawa lepas pantai pulau Kalimantan.