KITAB NAGARAKERTAGAMA MENJELASKAN TENTANG ATLANTIS DAN SURGA DI TIMUR
Naskah asli ditulis oleh Kang Ejang Hadian Ridwan & diedit kembali oleh NHD
Diunduh dari http://atlantissunda.wordpress.com/2013/07/16/2533/
Naskah Nagarakertagama pupuh ke 15 bait 2:
“kunan tekan nusa madura tatan ilwi parapuri, ri denyan tungal mwan yawadarani rakwaikana danu, samudra nangun bhumi kta ça ka kalanya karnö, teweknyan dadyapantara sasiki tatwanya tan adoh.”
Terjemahannya:
“Tentang Pulau Madura, tidak dipandang negara asing, Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, Konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat, Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”
Bait Nagarakertagama tersebut mengungkapkan perkiraan data geologi tentang adanya informasi perubahan geografis dan geologis antara pulau Jawa dan Madura akibat perubahan ketinggian air laut, dan mengapa pula dilihat sepintas dari judul yang diberikan seolah-olah bahwa informasi dari pernyataan teks Nagarakertagama ini mendukung buku Atlantis The Lost Continent Finally Found karya Prof. Arsyio Santos dan Eden In The East karya Prof. Stephen Oppenheimer.
Buku Atlantis dan Eden In The East memberikan gambaran jelas tentang mitos Surga di Timur, Surga Atlantis (Atlantis Lamuria sama dengan Eden, merupakan kata lain dari Atlantis itu sendiri) dan tentang Surga di Timur ini pertama kali disampaikan oleh Plato. Plato dalam bahasa Yunani: Πλάτων, lahir sekitar 427 – 347 SM adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, yang salah satu anak didiknya yaitu Socrates, dengan memberikan gambaran atau petunjuk bahwa telah terjadi suatu masa peradaban tinggi di muka bumi ini, yang ditandai dengan adanya kekaisaran agung (Atlantis) yang mendunia.
Masa itu hilang karena adanya perubahan muka bumi. Plato menjelaskan ciri-ciri dengan rinci mulai dari keadaan alam, flora dan faunanya serta ciri geografis dominan dari Surga Atlantis tersebut, dengan kuil-kuil atau istananya terbentuk dari emas. Berdasarkan apa yang disampaikan Plato inilah maka dimulai pula penelusuran dan pencarian jejak tentang mitos surga Atlantis tersebut. Para petualang meneyebar ke seantero jagat dengan misi dasar menemukan mitos tentang Surga di Timur tersebut. Salah satu efek tidak langsung adalah munculnya bangsa-bangsa barat yang menjajah di Indonesia dan negara-negara
lainya, misalnya penjajahan oleh Portugis, Inggris dan Belanda.
Berdasarkan data-data dari kedua buku tersebut, bisa diasumsikan bahwa permukaan daratan daerah laut Jawa (laut diantara Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera) menurun drastis hingga kisaran 150-200 meter (silakan baca tentang cara mengukur kedalaman laut), kasarannya bila dikuras habis sampai kedalaman tersebut, maka akan didapati dataran seluas kira-kira 400 x 600 km persegi bahkan lebih, dan ini memang daratan maha luas, hampir 3 kali luas Pulau Jawa sekarang.
Tentang kedalaman laut Jawa silakan baca di laporan Bakosurtanal, atau hasil pengamatan citra satelit laut Jawa yang menunjukan sebagian besar laut Jawa kedalamannya pada kisaran tersebut, yaitu 150-200 meter, walaupun memang ada juga palung-palung dalam yang merupakan hasil pertemuan lempeng- lempeng benua dengan kedalaman ribuan meter. Terdapat 4 (empat) sungai purba di daratan itu dan dipermukaan dasar laut Jawa, yang diambil sebagai bukti referensi ilmiah tentang salah satu ciri Atlantis yang disampaikan Plato, dan itulah dalam berbagai mitos keagamaan disebut sungai-sungai Surga dan Surga “Atlantis” yang dimaksud, keempat sungai itu bersumber dari Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Tidak mengherankan bila banyak peninggalan megalit yang terdapat disekitar Gunung Dempo, Bukit Barisan dimana arca-arca megalit mengarahkan mukanya menghadap ke Gunung Dempo.
Penandaan tahun yang terdapat dalam pupuh 15 bait 2 naskah Nagarakertagama dari hasil terjemahan teks aslinya berbahasa Kawi yaitu “Samudra Nanguɳ Bhumi” oleh Prof. Dr. Raden Benedictus Slamet Muljana diterjemahkan menjadi “tahun Saka lautan menantang bumi” yang kemudian oleh Theodor Pigeaud diindentifikasi sebagai saka 124 = 202 A.D. (Masehi), dimana peristiwa rob laut ini (mungkin) terjadi di tahun tersebut.
Ahli geologi Indonesia, Awang Harun Satyana dalam kajiannya berjudul “Krakatau Purba 535 AD : a Super Colossal Eruption”, menyatakan bahwa pada hari Senin 7 Agustus 1883 pukul 10.00 WIB adalah saat terakhir penduduk di sekitar Selat Sunda melihat Matahari tengah naik ke puncaknya. Setengah jam kemudian, mereka meregang nyawa diseret gelombang laut setinggi sampai 40 meter… !! Jumlah seluruhnya 36.417 orang berasal dari 295 kampung di kawasan pantai Banten dan Lampung. Keesokan harinya dan keesokan harinya lagi, penduduk sejauh sampai Jakarta dan Lampung tak melihat lagi Matahari – gelap gulita. Apa yang terjadi di hari yang seperti kiamat itu adalah letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda. Suara letusannya terdengar sampai sejauh 4600 km dan di dengar di kawasan seluas 1/8 permukaan bumi. University of North Dakota Volcanic Explosivity Index (VEI) mencantumkan dua gunung api di seluruh dunia yang letusannya paling hebat dalam sejarah modern: Krakatau 1883 (VEI : 6) dan Tambora 1815 (VEI : 7), dua-duanya ada di Indonesia dan sangat dekat dengan kita.
Tetapi, banyak dokumen menunjukkan bahwa Krakatau 1883 bukanlah satu-satunya letusan paling dahsyatnya. Sebelumnya, masih di Krakatau juga, ada letusannya yang (kelihatannya) jauh lebih dahsyat lagi daripada letusan 1883, yang terjadi pada masa kerajaan-kerajaan penganut agama Hindu pertama di Indonesia sekitar tahun 400-an atau 500-an Masehi sebagaimana diungkapkan oleh B.G. Escher (1919, 1948) yang berdasarkan penyelidikannya dan penyelidikan Verbeek (1885) – dua-duanya adalah ahli geologi Belanda yang lama bekerja di Indonesia yang menyusun sejarah letusan Krakatau sejak zaman prasejarah hingga modern. Saat ini, di Selat Sunda ada Gunung Anak Krakatau (lahir Desember 1927, 44 tahun setelah letusan Krakatau 1883 terjadi), yang dikelilingi tiga pulau : Sertung (Verlaten Eiland, Escher 1919), Rakata Kecil (Lang Eiland, Escher, 1919) dan Rakata. Berdasarkan penelitian geologi, ketiga pulau ini adalah
tepi-tepi kawah atau kaldera hasil letusan Gunung Krakatau Purba.
B.G. Escher berkisah, dulu ada sebuah gunung api besar di tengah daratan yang kini dikenal Selat Sunda, kita namakan saja Krakatau Purba yang disusun oleh batuan andesitik. Lalu, gunung api ini meletus hebat membuat kawah yang besar di Selat Sunda yang tepi-tepinya menjadi pulau Sertung, Rakata Kecil dan Rakata. Lalu sebuah kerucut gunung api tumbuh berasal dari pinggir kawah dari pulau Rakata, sebutsaja gunung api Rakata, terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul di tengah kawah, bernama Gunung Api Danan dan Gunung Api Perbuwatan. Kedua gunung api ini kemudian menyatu dengan Gunung Api Rakata disebut Gunung Krakatau. Tahun 1680, Gunung Krakatau meletus menghasilkan lava andesitik asam. Dan kembali meletus 20 Mei 1883, setelah 200 tahun tertidur. Gunung api Danan dan Perbuwatan hilang karena erupsi dan runtuh, dan setengah kerucut gunung api Rakata hilang karena runtuh, membuat cekungan kaldera selebar 7 km sedalam 250 meter. Desember 1927, Anak Krakatau muncul di tengah-tengah kaldera tersebut. Jejak-jejak ion belerang yang berasal dari asam belerang vulkanik Krakatau ditemukan pada contoh-contoh batuan inti (core) di lapisan es Antartika dan Greenland, ditenggarai berasal dari tahun 535-540 SM.
Letusan Krakatau Purba begitu dahsyat, sehingga dituduh sebagai penyebab semua abad kegelapan di dunia. Penyakit sampar Bubonic (Bubonic plague) terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan telah mengurangi jumlah penduduk di dunia. Kota-kota super dunia segera berakhir, abad kejayaan Persia purba berakhir, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Bizantium terjadi, peradaban South Arabian selesai, berakhirnya rival Katolik terbesar (Arian Christianity), runtuhnya peradaban-peradaban “purba” ke dunia baru –berakhirnya negara metropolis Teotihuacan, punahnya kota besar Maya Tikal, dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Dikatakan David Keys (1999), semua peristiwa abad kegelapan dunia ini terjadi karena bencana alam yang maha besar, yang sangat mengurangi cahaya dan panas matahari selama 18 bulan, menyebabkan iklim global mendingin, pendapat ini disetujui K. Wohletz, seorang ahli volkanologi di Los Alamos National Laboratory.
Naskah Nagarakertagama memberikan petunjuk tentang adanya peristiwa geologi dimasa abad awal masehi. Buku Atlantis dan Buku Eden menyebutkan awalan memakai dasar pemberitaan “Pustaka Raja Purwa” dan teori “A Super Colossal Eruption” dari gunung Krakatau untuk dibuat terori dasar tentang Atlantis yang tenggelam pada era akhir jaman es mencair 11.600 SM, padahal jelas-jelas Pustaka Raja Purwa juga mengatakan tahun 416 M terjadi peristiwa vulkanik letusan Gunung Krakatau. Demikian terbukti bahwa Gunung Krakatau Purba hingga Gunung Krakatau yang hidup dan peristiwa tahun 1883 memberikan kesaksian nyata bahwa Gunung Krakatau adalah sumber malapetaka, mega bencana.
Tafsiran tahun dari teks naskah nagarakertagama memang kalau dibandingkan dengan bahasan peristiwa geologi terkini untuk awal abad ke-6 tidaklah sesuai, ini bisa dimaklumi karena dalam teks itu sendiri dijelaskan bahwa berita tersebut “konon”. Tapi istilah tafsiran yang menyatakan “Lautan Menantang Bumi” ini bisa
dirasionalkan bahwa dengan terjadinya ledakan Krakatau mengakibatkan perubahan geografis Nusantara dengan turunnya sebagian daratan terhadap permukaan air laut, wajar kalau pun hitungan tahun saka 124 atau 202 M dari teks nasakah Nagarakertagama menurut metoda candra sengkala itu diabaikan. Deviasi atau penyimpangan seperti ini bisa dilihat juga dengan data yang diberikan Pustaka Raja Purwa yang mengatakan peristiwa itu terjadi tahun 416 M. Atau kalau seandainya boleh lepas dari aturan candra sengkala dikarenakan kesulitan untuk membalikan pernyataan “Lautan Menantang Bumi”, dengan kaidah pembacaan diabaikan itu tentunya akan lebih mendekati, yaitu asumsi kisaran tahun saka 421 atau 499 M, tentunya lebih sejalan dan mendekati dengan waktu kejadian yang diperkirakan tersebut.
Hipotesa tentang “A Super Colossal Eruption” dari Krakatau pada kisaran tahun 535-540 M dan ditambah dengan peristiwa vulkanik tahun 1883 menurut ahli geologi Indonesia, Awang Satyana, hipotesa ini bisa jadi penyebab hilangnya peradaban awal abad masehi di nusantara tercinta ini termasuk catatan-catatan dan bukti-bukti sejarah didalamnya. Catatan sejarah yang menjadi penyelamat tentang sejarah sebelumnya adalah bukti prasasti Ciaruteun yang dibuat tahun 536 M, dan perlu diperhatikan bahwa tahun tersebut adalah satu tahun setelah hipotesa kejadian “a Super Colossal Eruption” dari Krakatau 535 M, dengan catatan jika hal itu benar.
Tentunya akan terjadi eksodus besar-besaran masyarakat dari wilayah tatar Sunda (Sundaland), efek traumatis secara psikologis untuk menjauh dari sumber bencana besar yang telah terjadi, arah yang mungkinkan adalah kearah pulau Jawa bagian Timur, hal ini mungkin bisa dilogikakan terus dengan bukti kemunculan kerajaan baru di Jepara, Jawa tengah yaitu Kalingga kisaran abad 6 atau 7 M sesuai dengan catatan sejarah, salah satu yang terkenal sebagai peminpin pemerintahanya yaitu munculnya tokoh legendaris Ratu Shima, bercerita keadilan dalam kehidupan bernegara yang sungguh mengagumkan. Alasan ungkapan ketatanegaraan yang mengagumkan oleh karena seusai bencana biasanya terjadi kepanikan setiap masyarakat untuk mempertahankan hidup, sehingga akan timbul prilaku kriminal, penjarahan, kompliksosial dan lain sebagainya, untuk itu diperlukan hukum yang pasti, disertai ketegasan mutlak, dan ini dibuktikan dengan catatan peristiwa dipotongnya tangan anak Ratu Sima yang melanggar ketentuan perundangan yang sudah diberlakukan tentang pencurian atau mengambil hak orang lain. Didaerah Jawa Bagian tengah dan timur sendiri catatan sejarah dimulai abad ke-7 dengan diawali oleh Kerajaan Kalingga tersebut, sedangkan di Tatar Sunda catatan sejarah dimulai setelah abad ke-7 juga, didasarkan keterangan terhadap bukti fisik yaitu prasasti. Tentang catatan prasasti tertua di Nusantara diantaranya:
1. Prasati Kawi, tertanda tahun 584 M yang dikirim Raffles ke Bengala di tahun 1813,”for the Earl of Minto. Memorial stone praising the kingdom of Srivijaya, describing the veneration of statues and religious attitudes.”Raffles, 2, p. cxxvii-viii. Yang aneh mengapa prasasti ini ditemukan di dekat kota Surabaya? Prasasti ini merupakan tanda memperingati keagungan Kerajaan Sriwijaya, artinya Kerajaan Sriwijaya sudah lama berkembang dan bisa dikatakan semasa dengan kerajaan tua lainya di Nusantara seperti halnya Tarumanagara dan Kutai.
2. Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang, dan dikenal sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang ditulisi berukuran 50cm × 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor D.145.
3. Prasasti Karang Brahi adalah sebuah prasasti dari jaman kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada tahun 1904 olehKontrolir L.M. Berkhout di tepian Batang Merangin. Prasasti ini terletak pada Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun teridentifikasi menggunakan aksara Pallawa dan bahasanya Melayu Kuno. Isinya tentang kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada raja dan orang-orang yang berbuat jahat. Kutukan pada isi prasasti ini mirip dengan yang terdapat pada Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Berbagai catatan, sumber berita dari Arab tentang Nusantara dimulai abad ke-9 oleh Ibn Khurdadhbih kisah kisaran 850 M, kisah dari Abu Zaid kisaran 916 M dan kisah dari Mas’udi kisaran 956 M. Catatan lainya mengenai Kerajaan Kalingga, dapat dilihat dari prasasti Canggal, atau disebut juga prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya dan prasasti Tukmas. Kalingga disebut Ho-Ling dalam berita catatan China pada masa dinasti Tang (618 M – 906 M), dan catatan I-Tsing kisaran berita tahun 664-665 M.
Hal yang mungkin bisa dijadikan diperbadingkan pula sebagai catatan sejarah tentang kisah legenda burung Ababil pada ummat Islam, terutama masyarakat Arab yang tinggal tak jauh dari Baitullah Ka’bah Al Mukarramah. Burung Ababil merupakan cerita dahsyat yang selama ini menghiasi keberadaan Ka’bah dimana pada masa lalu sebelum Rasulullah Muhammad SAW terlahir maka Ka’bah mendapat ancaman dari Raja Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah. Kelahiran Rasulullah Muhammad SAW tercatat 571 M atau berselisih 36 tahun dengan hipotesa “A Super Colossal Eruption” Gunung Krakatau 535 M dan tahun disaat kelahiran Rasullullah SAW yang disebut Tahun Gajah.
Peristiwa geologi yang termasuk katagori terdasyat seperti “A Super Colossal
Eruption” Krakatau, tentunya selain melenyapkan peradaban ditempat sekitar lokasi peristiwa juga akan sangat mungkin melenyapkan catatan-catatan dan bukti-bukti sejarah fisik sebagai bukti primer sejarah masa lampau, mengingat konon katanya ketebalan lapisan timbunan abu vulkanik dan material lainnya bisa mencapai 80 meter! Begitupula dengan megalitik bangunan, arca, prasasti yang sebagian besar rusak, meleleh kemungkinan dari akibat perubahan suhu tinggi ekstrim dari letusan gunung-gunung.
Mari perhatikan nama-nama gelaran raja-raja sesudah abad ke-6 masehi yang beredar di tatar Sunda seperti Suryawarman, Candrawarman, dan raja-raja lainya yang sebagiannya terdapat kata lingga, seperti Lingga Buana. Candra artinya bulan, surya artinya matahari dan lingga mempunyai arti sumbat, nama-nama ini bisa jadi personifikasi dengan kejadian alam sebelumnya, lingga buana bisa mengandung arti penyumbat bumi, dalam buku Atlantis – Santos, ini menunjukkan Gunung Krakatau yang merupakan penghalang batas laut Jawa dan lautan Hindia, yang kini berada di Selat Sunda
Berdasarkan bukti fisik dan lain sebagainya sebagai bukti catatan sejarah, tentunya awal abad masehi atau pun sebelumnya di Nusantara ini akan tetap menjadi misteri, dan hanya Tuhan Yang Maha Tahu tentang peristiwa kehidupan pada masa itu. Sekali lagi kita harus berterima kasih kepada Allah yang masih melindungi catatan sejarah pada prasasti yang ditemukan di abad ke-6 Masehi berisi data sejarah tentang telah berdirinya kerajaan atau peradaban yang cemerlang dikisaran abad ke-4 dengan keberadaan Kerajaan Tarumanagara dengan rajanya Purnawarman, bukti peradaban tinggi pada saat itu adalah dengan pernyataan bahwa teknologi baju besi perang beliau tidak akan bisa ditembus oleh mata panah dari logam.
Walaupun prasasti Kutai meninggalkan catatan sejarah dengan bukti arkeolog berupa prasti tersebut yang memberikan keterangan tentang Raja Mulawarman, kemudian Asyawarman dan Kudungga, tapi kelanjutanya kerajaan tersebut masih menjadi misteri, bahkan nama Kerajaan Kutai juga bukan kerajaan yang diterangkan oleh prasasti tersebut, karena memang tidak terdapat nama kerajaan Kutai di prasasti itu.
Ukiran kepala gajah bermahkota teratai diprasasti yang ditemukan di Bogor tentang raja Purnawarman yang oleh para ahli diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan bacaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Lambang atau simbol yang menunjukan telah terjadi peristiwa masa gelapnya bumi, ketika matahari dan bulan berada dalam satu posisi tentunya peristiwa alam yang terjadi adalah gerhana Matahari dengan efek bahwa cahaya tidak bisa diterima dibumi, kondisi menjadi gelap, dan itu sejalan dengan efek hipotesa dari peristiwa maha dasyat vulkanik gunung Krakatau 535 M, Bishop Siria, John dari Efesus bahkan dijelaskan masa kegelapan itu berlangsung selama 18 bulan sehingga suhu bumi berkisar 10 derajat celsius dan efek lainnya ditandai dengan kemunduran peradaban diberbagai belahan bumi, sekaligus berkurangnya populasi manusia secara dramatis pada masa itu.
Referensi :
- Wikipediaonline.
- “Atlantis, TheLost Continent Finally Found“, Prof Arsyio Santos, Penerbit Ufuk.
- “Eden in The East”, Prof Stephen Oppenheimer, Penerbit Ufuk.
- Hugh Tredennick and Harload Tarrant, “Plato, Hari-hari Terakhir Socrates“, penerbit PT Elex Media Komputindo.
- http://geologi.iagi.or.id/
- Indonesia – Nusantara – Dwipantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar